Astronomi? Belajar Apa Tuh?
‘Kapan kawin’ adalah momok bagi para lajang ketika harus bersilaturahmi dengan kerabat atau keluarga saat hari raya. Dulu gue pernah berada pada fase muak dan kesal dengan pertanyaan itu karena menanggapinya dengan serius. Namun setelah dipikir-pikir, sesungguhnya mereka yang menanyakan ‘kapan kawin’ itu cuma ingin mengobrol dengan kita. Hanya saja bingung harus dimulai dengan pertanyaan apa saking lamanya tidak bertemu.
Lantas gue berpikir lagi, jika saja gue punya kerabat seorang ilmuwan dan memulai basa-basi dengan, eh gimana sih itu kelanjutan prahara string theory dan loop quantum gravity? pasti gue juga bingung harus bagaimana menjawabnya. Namun syukur lah gue enggak punya saudara seorang ilmuwan sehingga pertanyaan sekaliber itu tidak pernah gue dapatkan di hari raya.
Mungkin ya para paman dan bibi kini sudah banyak yang sadar dengan betapa murkanya generasi milenial dengan pertanyaan ‘kapan kawin’. Jadi mereka berusaha mengganti pertanyaan basa-basi dengan, ‘kerja di mana sekarang’. Enggak salah, karena memang kebanyakan orang seumuran gue sudah bekerja. Tapi aku kan enggak begitu. Aku masih anak sekolah~
Pertanyaan pun berlanjut dengan, ‘oh lanjut kuliah jurusan apa’. Dan ketika gue jawab, kebingungan para paman dan bibi semakin menjadi-jadi. Lantas dilontarkan lagi pertanyaan yang amat sederhana namun ternyata gue juga kebingungan bagaimana menjelaskannya. Sama bingungnya jika ditanyakan tentang string theory atau loop quantum gravity.
‘Astronomi? Ngapain tuh?’
Dan pertanyaan serupa juga selalu gue dapatkan ketika mengambil jurusan fisika di jenjang sarjana.
I can’t blame them. Secara historis sistem pendidikan kita saat ini adalah warisan Belanda. Mereka sengaja memberikan pendidikan ilmu praktis seperti kedokteran, teknik, hukum, kepada kaum pribumi supaya kita bisa bekerja untuk mereka, bangsa Belanda. Dengan kata lain kita ini memang sengaja diciptakan sebagai bangsa pekerja. Maka jangan frustrasi apabila generasi paman, bibi, dan orang tua kita mengagungkan profesi dokter dan insinyur. Sebab pada masanya memang profesi tersebut yang bisa hidup stabil secara ekonomi sehingga dapat menduduki kasta tertinggi dalam status sosial. Maklumin, weh.
Para paman dan bibi bertanya karena memang enggak tahu apa yang dilakukan dengan mempelajari ilmu murni. Jangan sensi dulu. Ingat, mereka hanya bingung memulai basa-basi dari mana dan ingin bersilaturahmi dengan kita.
Ketika mood gue sedang bagus untuk berperan dalam diplomasi ilmu murni kepada para paman dan bibi, tentu gue berusaha jelaskan sebaik mungkin tentang apa yang dilakukan oleh jurusan fisika atau astronomi. Apa yang kami kerjakan dan pelajari. Kenapa itu penting dalam hirarki ilmu pengetahuan. Termasuk apa yang bisa mereka l̶a̶k̶u̶k̶a̶n̶ kerjaan setelah lulus kuliah (ini informasi terpenting bagi para paman dan bibi). Jika para paman dan bibi terlihat antusias maka akan antusias pula gue dalam melakukan diplomasi ilmu murni.
Namun pada kenyataannya kondisi tersebut tidak sering terjadi. Ha ha ha. Jadi gue pun sudah mempersiapkan jawaban pamungkas ketika ditanya tentang apa yang dipelajari di jurusan astronomi.
‘Ya…belajar tentang bintang, Alam Semesta, beserta isinya”
Biasanya sih para paman dan bibi cukup puas dengan jawaban itu. Sebab ketika orang mendengar kata astronomi, hal pertama yang terlintas adalah bintang. Ya, betul kami mempelajari bintang dan juga planet-planet. Dengan demikian terbuka jalan bagi kami untuk memahami sistem lain yang lebih besar seperti galaksi, kumpulan galaksi atau cluster, hingga ke skala terbesar yaitu Alam Semesta.
Pada hakikatnya hal itu dilakukan untuk menjawab pertanyaan dasar manusia ketika mereka menengadahkan kepalanya ke langit: dari mana dia berasal, ada di mana posisi dia di Alam Semesta, ada apa di luar sana, bagaimana dunia ini bermula, dsb. Kalau kata Carl Sagan, manusia dalam memandang Alam Semesta itu ibarat seseorang yang berdiri di tepian pantai. Ada batas yang membuat manusia harus mengeluarkan usaha lebih untuk tahu apa yang ada di dalam lautan. Harus mau basah, berenang, bahkan menyelam sekaligus.
Sedikit banyak, pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya eksistensial tersebut pasti pernah singgah dalam benak manusia. Namun hanya mereka yang amat terganggu dengan pertanyaan tersebut yang terus berusaha mencari jawabannya. Usaha mereka dalam mengetahui ada apa saja di luar sana itu lah yang menjadi cikal bakal lahirnya ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, astronomi dan astrofisika.
Lantas manusia menciptakan berbagai macam teori hingga peralatan untuk bisa memahami dan menyelami isi langit. Teori dan teknologi yang lahir ini ternyata banyak yang bisa diadaptasi untuk kemaslahatan umat manusia di Bumi.
Salah satu contohnya adalah GPS. Teori relativitas khusus yang dilahirkan Einstein menyatakan bahwa waktu itu relatif, tidak absolut. Akibatnya ada perbedaan perhitungan waktu antara jam yang ada di Bumi dan jam yang terpasang pada satelit di luar angkasa. Meskipun perbedaannya amat kecil, imbasnya signifikan dalam menentukan koordinat tempat di Bumi sehingga koreksi perhitungan waktu harus dilakukan secara berkala. Kalau enggak, nanti enggak bisa tag location yang paripurna dong kak kalau unggah foto di Instagram.
Kalau paman dan bibi terkesan dengan penjelasan gue (baik versi singkat atau pun panjang), tentu mereka akan berkomentar lagi.
‘Oh, berarti nanti bakal ke Bulan dong.’
‘Kerjanya nanti di NASA ya?’
‘Mau jadi astronot ya’
Jawaban gue?
‘Iya hehe.’
Ucapan yang baik sebaiknya diamini saja sebab ucapan itu juga doa. Siapa tahu berkat doa para paman dan bibi, kita jadi betulan bisa kerja di NASA. Aamiin ya Rabb…